Hudan dan Syifa’
(Sebuah Telaah Qur’ani)
Apa yang sempat terlintas di benak kita, ketika pertama
kali membaca judul artikel ini? Secara umum biasanya ada dua konsep pertanyaan,
yaitu “siapa”, dan “apa”. Bagi yang mempunyai kecenderungan pertanyaan “siapa”
dapat di maklumi, mungkin dia seorang yang aktif bersosialisasi dengan banyak
manusia, atau penggemar sinetron, atau malah sering eling mantan pacar,
barangkali saja. Terus mengenai “apa”?, itu yang akan kita selami maknanya di sini.
Apa itu hudan?,
apa pula itu syifa’?. Bagi mahasiswa pecinta Al-Qur’an (baca:
mahasiswa PTIQ,IIQ) pasti tidak asing dengan dua istilah yang dalam QS. Fushshilat
(41): 44 ini tergabung dalam satu redaksi, ...qul huwa lilladzina amanu
hudan wa syifa’...yang artinya: “...katakanlah (hai Muhammad), Al-Qur’an
adalah petunjuk dan penyembuh (obat) bagi orang-orang yang beriman...”. Secara
sederhana dapat diartikan hudan itu petunjuk, syifa’ itu obat.
Al-Qur’an
sebagai petunjuk, tentu saja. Muslim di seluruh dunia mengetahuinya, meskipun
mungkin hanya sedikit dari mereka yang “mengakuinya”. Pengakuan di sini tentu
berdasar atas keyakinan dan pengetahuan akan kebenaran dan sisi pencerahan yang
diberikan Al-Qur’an. Dengan adanya
petunjuk, seseorang akan mengetahui posisinya dan posisi segala sesuatu di alam
ini, sehingga dia menyadari keberadaan tingkat (maratib) dan posisi (maqam)
dari segala sesuatu. Kesadaran inilah yang akan menghantarkan seseorang pada
pengakuan penghambaannya (‘ubudiyyah) setelah mengerti dan menyadari
kekuasaan Allah (rububiyyah).
Petunjuk
mengantarkan manusia menjauh dari dhalal (kesesatan). Teramat banyak
kalau harus disebutkan bentuk-bentuk kesesatan manusia, bahkan mengaggap sesat
orang tanpa qarinah yang jelas saja adalah bentuk kesesatan, ya
Allah. Di sini tidak usahlah kita menyoroti orang lain, Eyang Subur misalkan,
cukup kita introspeksi diri sendiri, sudahkah kita mendapatkan hudan ?,
sudahkah kita jauh dari dhalal?. Ukur saja diri kita masing-masing.
Dalam
sistem pendidikan Islam, sejak dini, seorang anak akan diperkenalkan
pertama-tama dengan kitab suci Al-Qur’an yang merupakan landasan bagi semua
ilmu dalam ajaran Islam. Hal ini dikarenakan sesuatu yang diajarkan pada masa
dini akan mengakar kuat lebih dari segala sesuatu, dan impresi pertama yang
diterima oleh hati akan menjadi fondasi dari semua
intelektualitas. Seorang anak akan terbiasa dengan
terminologi-terminologi dan kata-kata kunci Al-Qur’an, sehingga definisi
kata-kata tersebut dipikirkan mereka diambil langsung dari Al-Qur’an. Di
sinilah hal yang sangat penting dan fundamental terjadi. Hasil dari sistem
pendidikan ini adalah pemikiran seorang muslim yang sangat Qur’ani dan tidak
lepas dari ajaran kitab suci. Hasil yang sangat nyata dari upaya sistem
tersebut adalah sentralitas Allah sebagai Tuhan dalam pemikiran kaum Muslimin.
Tentu
sebagai pecinta Al-Qur’an kita ingat, ketika kita belajar Al-Qur’an sejak kecil
sampai sekarang ini. Namun, coba kita pikir, cukup efektifkah sistem pendidikan
yang kita dapat saat ini ?, mengapa seakan kita fokus pada aspek qira’ah, membaca
saja. Penekanan yang keterlaluan pada seni membaca Al-Qur’an, baik itu tajwid,
nagham, ataupun aneka cara
membacanya (qira’ah sab’ah) belum tentu bisa mengantar kita mendapatkan hudan
(kalau dapat Mas Hudan iya, bisa). Di sini tidak dikatakan bahwa tajwid maupun
qira’ah sab’ah tidak penting, namun penekanan terlalu berat pada aspek
tersebut tidak akan menghasilkan apa-apa. Cara membaca Al-Qur’an dengan benar
adalah salah satu yang wajib dipelajari, namun isi dan ajaran-ajarannya serta
penggunaan terminologinya juga tidak boleh diabaikan. Karena kedua aspek inilah
yang akan membentuk pemikiran seseorang, dan secara logis lebih dekat
mengantarkan manusia memperoleh hudan-Nya. Idealnya sebuah institusi
pendidikan Islam, apalagi yang berembel-embel Al-Qur’an, bukan hanya
dikenal dalam menghasilkan ahli tajwid maupun ahli qira’at saja, atlet MHQ atau
MTQ saja, tetapi mencetak manusia-manusia yang berjiwa dan berpemikiran
Qur’ani.
Sebagaimana
kita kita ketahui, terminologi syifa’ secara singkat dapat kita artikan
obat. Al-Qur’an adalah obat segala “penyakit” manusia, lahir dan bathin. Ibarat
apotek, persediaan “obat” Al-Qur’an sangat lengkap. Manusia berimanlah yang
mesti pandai-pandai menggunakannya agar menjadi obat yang mujarab. Seperti salah
obat, salah menggunakan ayat juga bisa berdampak fatal. Bayangkan jika ayat 59
surat al-Maidah (Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada
Allah, Rasulullah, dan pemegang kekuasaan kalian) digunakan oleh pemimpin dzalim
penuh KKN untuk mengintimidasi rakyatnya agar taat. Di sisi lain rakyat selalu
menuntut realisasi ayat sebelumnya, ayat 58 surat al-Maidah
(Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya.
Dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia,
hendaknya kamu menetapkannya dengan adil), padahal mereka mengabaikan peraturan
yang mesti ditaati. Keadaan sebuah bangsa yang
demikian tentu akan bergejolak. Sebaliknya, sebuah bangsa
akan damai dan adil jika pemimpinnya menjalankan surat al-Maidah ayat 58
dan rakyatnya mengamalkan ayat 59 sebagaimana di atas.
Orang
tua yang arif, akan lebih menggunakan ayat 15 surat at-Taghabun sebagai
obat hatinya tatkala menghadapi anak-anak yang menguji kesabaran. Dengan ayat
itu rasa kesal akan terobati oleh kesadaran hakikat anak sebagai cobaan.
Do’apun akan terpanjatkan untuk sang anak agar menjadi shaleh. Keadaan akan
lain jika orang tua yang dibentak anaknya menjatuhkan vonis “durhaka” kepada
anak karena melakukan laransyigan Al-Qur’an (QS. Al-Isra’: 23). Idealnya,
ayat yang melarang anak berkata yang menyakitkan orang tua adalah yang menjadi
pedoman sang anak, sekalipun orang tua jauh dari nilai-nilai ideal sang anak.
Salah
ayat bisa membuat keadaan menjadi tidak lebih baik, apalagi sampai meninggalkan
Al-Qur’an, persoalan yang dihadapi tentu tak kunjung selesai. Begitu pula sikap
berlebihan dalam “salah memposisikan” Al-Qur’an. Misalnya, dibaca tanpa henti
sebulan penuh tanpa ada aktifitas lain agar masalah selesai. Yang terjadi
justru keluarga dan urusan wajib lain berantakan karenanya.
Al-Qur’an memang hudan (petunjuk)
dan juga syifa’ (obat) bagi problematika kehidupan. Tentunya jika kita
bisa cerdas dan tanggap dalam memahami isi dan kandungannya. Seorang pecinta
Al-Qur’an tentu akan mendalami luasnya ilmu-ilmu Al-Qur’an, bukan hanya
membacanya sampai serak hanya untuk mendapatkan Mas Hudan atau Mba’ Syifa’,
tetapi untuk mendapatkan petunjuk dan obat atas segala permasalahan uma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar