Selasa, 06 Desember 2016

Foto Wisuda Aziz (Pesantren Nurul Qur'an)






Pemimpin yang Ideal dalam Prespektif Islam, Siapakah Mereka?



 Oleh : Abdul Aziz
1.      Hakekat Kepemimpinan
Dalam pandangan Islam, kepemimpinan merupakan amanah dan tanggungjawab yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada anggota-anggota yang dipimpinya, tetapi juga akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah swt. Jadi, pertanggungjawaban kepemimpinan dalam Islam tidak hanya bersifat horizontal-formal sesama manusia, tetapi bersifat vertical-moral, yakni tanggungjawab kepada Allah Swt di akhirat nanti. Seorang pemimpin akan dianggap lolos dari tanggungjawab formal dihadapan orang-orang yang dipimpinnya, tetapi belum tentu lolos ketika ia bertanggungjawab dihadapan Allah Swt. Kepemimpinan sebenarnya bukan sesuatu yang mesti menyenangkan, tetapi merupakan tanggungjawab sekaligus amanah yang amat berat yang harus diemban dengan sebaik-baiknya. Allah Swt berfirman: "dan orang-orang yang memelihara amanah (yang diembankannya) dan janji mereka, dan orang-orang yang memelihara sholatnya."[1]
Seorang pemimpin harus bersifat amanah, sebab ia akan diserahi tanggungjawab. Jika pemimpin tidak mempunyai sifat amanah, tentu yang terjadi adalah penyalahgunaan jabatan dan wewenang untuk hal-hal yang tidak baik.[2] Itulah mengapa Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan agar menjaga amanah kepemimpinan, sebab hal itu akan dipertanggungjawabkan, baik didunia maupun diakhirat. Nabi bersabda: "setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya" (HR. Bukhori)[3] Nabi Muhammad SAW juga bersabda: "Apabila amanah disia-siakan maka tunggulah saat kehancuran. Waktu itu ada seorang shahabat bertanya: apa indikasi menyia-nyiakan amanah itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya" (HR. Bukhori)[4].
Oleh karenanya, kepemimpinan mestinya tidak dilihat sebagai fasilitas untuk menguasai, tetapi dimaknai sebagai sebuah pengorbanan dan amanah yang harus diemban dengan sebaik-baiknya. Kepemimpinan juga bukan kesewenang-wenangan untuk bertindak, tetapi kewenangan untuk melayani dan mengayomi dan berbuat dengan seadil-adilnya. kepemimpinan adalah sebuah keteladanan dan kepeloporan dalam bertindak. Kepemimpinan semacam ini akan muncul jika dilandasi dengan semangat amanah, keikhlasan dan nilai-nilai keadilan.[5]

2.      Kriteria Pemimpin yang Ideal dalam Islam
Seorang pemimpin merupakan sentral figur dan profil panutan publik. Terwujudnya kemaslahatan umat sebagai tujuan pendidikan Islam sangat tergantung pada gaya dan karakteristik kepemimpinan. Dengan demikian kualifikasi yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin mencakup semua karakteristik yang mampu membuat kepemimpinan dapat dirasakan manfaat oleh orang lain.
Dalam konsep Syari’at Islam, kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin telah dirumuskan dalam suatu cakupan sebagai berikut:

a)   Pemimpin haruslah orang-orang yang amanah. Amanah dimaksud berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya berlaku adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan atau kaum muslimin saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. Dalam al-Qur’an surah an-Nisa’: 58 dijelaskan: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.[6] Ayat di atas memerintahkan menunaikan amanat, ditekankannya bahwa amanat tersebut harus ditunaikan kepada ahliha yakni pemiliknya. Ketika memerintahkan menetapkan hukum dengan adil, dinyatakannya “apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia”. Ini bearti bahwa perintah berlaku adil itu ditunjukkan terhadap manusia secara keseluruhan.[7]
b)   Seorang pemimpin haruslah orang-orang yang berilmu, berakal sehat, memiliki kecerdasan, kearifan, kemampuan fisik dan mental untuk dapat mengendalikan roda kepemimpinan dan memikul tanggungjawab. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surah An-Nisa’: 83 “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri) kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”[8]Maksud ayat di atas adalah kalau mereka menyerahkan informasi tentang keamanan atau ketakutan itu kepada Rasulullah Saw apabila bersama mereka, atau kepada pemimpin-pemimpin mereka yang beriman, niscaya akan diketahui hakikatnya oleh orang-orang yang mampu menganalisis hakikat itu dan menggalinya dari celah-celah informasi yang saling bertentangan dan tumpang tindih.[9]
c)   Pemimpin harus orang-orang yang beriman, bertaqwa dan beramal shaleh, tidak boleh orang dhalim, fasiq, berbut keji, lalai akan perintah Allah Swt dan melanggar batas-batasnya. Pemimpin yang dhalim, batal kepemimpinannya.
d)  Bertanggung jawab dalam pelaksanaan tatanan kepemimpinan sesuai dengan yang dimandatkan kepadanya dan sesuai keahliannya. Sebaliknya Negara dan rakyat akan hancur bila dipimpin oleh orang yang bukan ahlinya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw “Apabila diserahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya maka tungguhlah kehancuran suatu saat”.
e)   Senantiasa menggunakan hukum yang telah ditetapkan Allah, seperti yang Allah jelaskan dalam al-Qur’an. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[10] Ayat di atas merupakan perintah untuk taat kepada Allah, Rasul, dan Ulil Amri (ulama dan umara). Oleh karena Allah berfirman “Taatlah kepada Allah”, yakni ikutilah kitab-nya, “dan taatlah kepada Rasul”, yakni pegang teguhlah sunnahnya, “dan kepada Ulim Amri di antara kamu”, yakni terhadap ketaatan yang mereka perintahkan kepadamu, berupa ketaatan kepada Allah bukan ketaatan kepada kemaksiatan terhadap-Nya. Kemudian apabila kamu berselisih tentang suatu hal maka kembalilah kepad al-Qur’an dan hadits.[11] Ayat ini turun tatkala terjadi sengketa antara orang Yahudi dengan seorang munafik. Orang munafik ini meminta kepada Ka’ab bin Asyraf agar menjadi hakim di antara mereka, sedangkan orang Yahudi miminta kepada Nabi Saw. Lalu kedua orang yang bersengketa itu pun datang kepada Nabi Saw yang memberikan kemenangan kepada orang Yahudi. Orang munafik itu tidak rela menerimanya, lalu mereka mendatangi Umar dan si Yahudi pun menceritakan persoalannya, kata Umar kepada orang munafik “Benarkah demikian?” “Benar” jawabnya. Maka orang itu pun dibunuh oleh Umar.[12]
Tidak meminta jabatan, atau menginginkan jabatan tertentu, sabda Rasulullah Saw “ Sesungguhnya kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya, tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (H.R . Muslim).


[1] Lihat QS, Al Mukminun [23], 8-9
[2] Raihan Putri, Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam, (Yogyakarta: AK Group, 2006), hal. 52
[3] Muslich Shabir, Terjemah Riyadhus Shalihin, jilid 1, (Semarang: Karya Toha Putra, 2004), hal. 335
[4] Raihan Putri, Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam, h. 57
[5] Abdul Al-Rahman Ibnu Khaldun, Muqaddimat, (t.t.t: Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubs, t.t). hal. 191
[6] Lihat QS an-Nisa’ [4] 58
[7] M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur’an, Volume 2, (Ciputat: Lentera Hati, 2000) Cet 1, hal. 458.
[8] Lihat QS, an-Nisa [4], 83
[9] Sayyid Quthb, (pen, As’ad Yasin), Tafsir fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hal. 54
[10] Lihat QS, an-Nisa’ [4] 59
[11] Ibnu Katsir, (Pen, M. Nasib Ar-Rifa’i), Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani, 1999), hal. 740-741.
[12] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, (Pen, Bahrun Abubakar) Tafsir Jalalain, Berikut Asbabun Nuzul Ayat, , (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2006), cet 4, hal. 343

Pemimpin dalam prespektif Islam



A. Pengertian Kepemimpinan.
Secara etimologi kepemimpinan berarti Khilafah, Imamah, Imaroh, yang mempunyai makna daya memimpin atau kualitas seorang pemimpin atau tindakan dalam memimpin[1]. Sedangkan secara terminologinya adalah suatu kemampuan untuk mengajak orang lain agar mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan[2]. Dengan kata lain, kepemimpinan adalah upaya untuk mentransformasikan semua potensi yang terpendam menjadi kenyataan. Tugas dan tanggungjawab seorang pemimpin adalah menggerakkan dan mengarahkan, menuntun, memberi motivasi serta mendorong orang yang dipimpin untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan.
Mengenai definisi kepemimpinan, banyak perbedaan pendapat mengenai definisinya. Hal ini disebabkan berbedanya sudut pendang dari masing-masing peneliti, mereka mendefinisikan kepemimpinan sesuai dengan perspektif-perspektif individual dan aspek dari fenomena yang paling menarik perhatian mereka.
Jacobs & Jacques mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran, Sedangkan menurut Tannenbaum, Weschler & Massarik kepemimpinan adalah pengaruh antarpribadi, yang dijalankan dalam suatu sistem situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapain satu tujuan atau bebrapa tujuan tertentu.[3]
Dari pengertian di atas ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan merupakan suatu hubungan proses mempengaruhi yang terjadi dalam suatu komunitas yang diarahkan untuk tercapainya tujuan bersama. Disamping itu jika melihat rumus kepemimpinan yang diajukan oleh Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard, maka hubungan natara pemimpin dan yang dipimpin tidak harus selalu berada dalam hubungan yang hirarkis.
Sedangkan tugas dan tanggungjawab yang dipimpin adalah mengambil peran aktif dalam mensukseskan pekerjaan yang dibebankannya tanpa adanya kesatuan komando yang didasarkan atas satu perencanaan dan kebijakan yang jelas, maka rasanya sulit diharapkan tujuan yang telah ditetapkan akan tercapai dengan baik. Bahkan sebaliknya, yang terjadi adalah kekacauan dalam pekerjaan. Inilah arti penting komitmen dan kesadaran bersama untuk mentaati pemimpin dan peraturan yang telah ditetapkan[4].
Sementara itu sekurang-kurangnya ada 4 terminologi dalam Qur’an yang menerangkan tentang pemimpin
Allah swt dalam al-Qur'an menggunakan istilah khalifah, ulu al-amr, imam, dan malik untuk pengertian pemimpin.  Tetapi dalam konteks yang berbeda, berikut ini adalah uraian pengertian term-term pemimpin yang terdapat di dalam al-Qur'an.
1.      Khalifah
Dari segi etimologi, akar kata khalifah terdiri dari 3 huruf yaitu kha, lam, dan fa’. Makna Makna yang terkandung didalamnya ada tiga macam yaitu mengganti kedudukan, belakangan dan perubahan, dari akar kata tersebut, ditemukan dalam al-Qur`an dua bentuk kata kerja dengan makna yang berbeda.
Bentuk kata kerja yang pertama adalah khalafa-yakhlifu yang digunakan pada banyak ayat yang berarti “mengganti”, sedangkan bentuk kata kerja yang kedua ialah istakhlafa-yastakhlifu yang berarti “menjadikan”, pada lima ayat yaitu surah an-Nur;55, surah al-An`am;133, surah Hud;57, dan surah al-A`raf;129.[5]
Definisi mengganti dapat diterjemahkan dengan regenerasi atau pergantian kedudukan kepemimpinan, selain konsep yang ada pada kata kerja khalafa juga berkonotasi fungsional artinya seseorang yang diangkat sebagai pemimpin dan penguasa di muka bumi mengemban fungsi dan tugas-tugas tertentu.
Bentuk jamak dari kata khalifah ialah khalaif dan khulafa. Term khalaif dipergunakan untuk pembicaraan dalam kaitan dengan manusia pada umumnya dan orang mukmin pada khususnya, al-Qur’an menggunakan term khalaif sebanyak empat kali yaitu surah al-An`am; 165, Yunus; 14 dan 73 dan Fathir; 39. Sedangkan khulafa dipergunakan sebanyak tiga kali oleh al-Qur`an  (QS. al-A`raf;69, 74 dan al-Naml;62) dalam kaitan dengan pembicaraan yang tertuju kepada orang-orang kafir[6].
 Oleh : Abdul Aziz
2.      Ulu al-Amr
Berdasarkan dari akar katanya, term al-Amr terdiri dari tiga huruf hamzah, mim dan ra, ketiga huruf tersebut memiliki lima pengertian, yaitu; perkara, perintah, berkat, panji dan keajaiban[7]
Istilah Ulu al-Amr terdiri dari dua kata, Ulu artinya pemilik dan al-Amr artinya urusan atau perkara atau perintah. Kalau kedua kata tersebut menjadi satu, maka diartikan pemilik urusan atau pemilik kekuasaan. Pemilik kekuasaan dapat diterjemahkan dengan bermakna Imam dan Ahli al-Bait, bisa juga bermakna para penyeru ke jalan kebaikan dan pencegah ke jalan kemungkaran, bisa juga bermakna fuqaha atau ahli fiqh, dan ilmuan agama yang taat kepada Allah swt.[8]
Kata al-Amr merupakan bentuk mashdar dari kata kerja Amara-Ya`muru yang berarti menyuruh atau memerintahkan atau menuntut seseorang untuk mengerjakan sesuatu. Sehingga term Ulu al-Amr dapat diterjemahkan sebagai pemilik kekuasaan dan pemilik hak untuk memerintahkan sesuatu. Seseorang yang memiliki kekuasaan untuk memerintahkan sesuatu berarti yang bersangkutan memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengendalikan keadaan.[9]

3.      Imam
Akar kata Imam adalah huruf hamzah dan mim, kedua huruf tersebut mempunyai banyak arti, diantaranya ialah pokok, tempat kembali, jama`ah, waktu dan maksud (Ibn Faris, 1979: 21). Para ulama mendefinisikan kata Imam tersebut adalah setiap orang yang dapat diikuti dan ditampilkan ke depan dalam berbagai permasalahan, misalnya Rasulullah itu adalah imamnya para imam, khalifah itu adalah imamnya rakyat, al-Qur`an itu adalah imamnya kaum muslimin[10]
Sesuatu yang dapat diikuti dan menjadi pedoman tidak hanya manusia, tapi dapat juga kitab-kitab dan lain sebagainya. Apabila yang diikuti adalah manusia, maka yang dapat diikuti dan dipedomani adalah perkataan dan perbuatan. Apabila kitab-kitab, maka yang dapat diikuti dan dipedomani adalah ide dan gagasan-gagasannya. Tetapi pada dasarnya sesuatu yang dapat diikuti terbagi menjadi dua macam, yaitu kebaikan dan keburukan atau positif dan negatif[11]

4.      Malik
Akar kata al-Malik terdiri dari tiga huruf, yaitu mim, lam, dan kaf, yang berarti kuat dan sehat. Akar kata tersebut membentuk kata kerja Malaka-Yamliku artinya kewenangan untuk memiliki sesuatu. Jadi term al-Malik bermakna seseorang yang mempunyai kewenangan untuk memerintahkan sesuatu dan melarang sesuatu dalam kaitan dengan sebuah pemerintahan. Tegasnya term al-Malik itu adalah nama bagi setiap orang yang memiliki kemampuan di bidang politik pemerintahan[12].


[1] Muhammad Idris Marbawi, Kamus Idris Al-Marbawy, juz 1, (Mesir: Mustafa Al-Halaby wa Auladuhu, 1359 H), hal. 28.
[2] Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 120
[3] Gary Yukl, , (terj. Jusuf Udaya,) Kepemimpinan Dalam Organisasi  (Jakarta, Prenhallindo, 1994), hlm: 2
[4] Wahbah Al-Zuhaily, Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1984), hal. 661
[5] Muhammad Fuad Abd Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an al-Karim,  (Beirut : Dar al-Fikr, 1997 M/1418 H) Cet IV, hal.303-306
[6] Abd Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur`an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994)h.114
[7] Zakariyya Abi al-Husain  dan Ahmad Ibn Faris, Mu`jam Maqayis al-Lughah, Juz II, (t.tp.,: Dar al-Fikr, 1979) h.137
[8] al-Raghib Ashfahani, Mufradat Alfadz al-Qur`an, (Damsyiq: Dar al-Qalam, 1992)h.90
[9] Abd Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur`an, h. 231
[10] Zakariyya, Abi al-Husain Ahmad Ibn Faris, Mu`jam Maqayis al-Lughah, Juz II,
[11] al-Raghib Ashfahani, Mufradat Alfadz al-Qur`an, h.87
[12] Zakariyya, Abi al-Husain Ahmad Ibn Faris, Mu`jam Maqayis al-Lughah, Juz II, h. 351