Oleh : Abdul Aziz
1.
Hakekat Kepemimpinan
Dalam
pandangan Islam, kepemimpinan merupakan amanah dan tanggungjawab yang tidak
hanya dipertanggungjawabkan kepada anggota-anggota yang dipimpinya, tetapi juga
akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah swt. Jadi, pertanggungjawaban
kepemimpinan dalam Islam tidak hanya bersifat horizontal-formal sesama manusia,
tetapi bersifat vertical-moral, yakni tanggungjawab kepada Allah Swt di akhirat
nanti. Seorang pemimpin akan dianggap lolos dari tanggungjawab formal dihadapan
orang-orang yang dipimpinnya, tetapi belum tentu lolos ketika ia
bertanggungjawab dihadapan Allah Swt. Kepemimpinan sebenarnya bukan sesuatu
yang mesti menyenangkan, tetapi merupakan tanggungjawab sekaligus amanah yang
amat berat yang harus diemban dengan sebaik-baiknya. Allah Swt berfirman: "dan
orang-orang yang memelihara amanah (yang diembankannya) dan janji mereka, dan
orang-orang yang memelihara sholatnya."[1]
Seorang
pemimpin harus bersifat amanah, sebab ia akan diserahi tanggungjawab. Jika
pemimpin tidak mempunyai sifat amanah, tentu yang terjadi adalah penyalahgunaan
jabatan dan wewenang untuk hal-hal yang tidak baik.[2]
Itulah mengapa Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan agar menjaga amanah
kepemimpinan, sebab hal itu akan dipertanggungjawabkan, baik didunia maupun
diakhirat. Nabi bersabda: "setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian
akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya" (HR. Bukhori)[3]
Nabi Muhammad SAW juga bersabda: "Apabila amanah disia-siakan maka
tunggulah saat kehancuran. Waktu itu ada seorang shahabat bertanya: apa indikasi
menyia-nyiakan amanah itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: apabila suatu
perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat
kehancurannya" (HR. Bukhori)[4].
Oleh
karenanya, kepemimpinan mestinya tidak dilihat sebagai fasilitas untuk
menguasai, tetapi dimaknai sebagai sebuah pengorbanan dan amanah yang harus
diemban dengan sebaik-baiknya. Kepemimpinan juga bukan kesewenang-wenangan
untuk bertindak, tetapi kewenangan untuk melayani dan mengayomi dan berbuat
dengan seadil-adilnya. kepemimpinan adalah sebuah keteladanan dan kepeloporan
dalam bertindak. Kepemimpinan semacam ini akan muncul jika dilandasi dengan
semangat amanah, keikhlasan dan nilai-nilai keadilan.[5]
2.
Kriteria Pemimpin yang Ideal dalam Islam
Seorang
pemimpin merupakan sentral figur dan profil panutan publik. Terwujudnya
kemaslahatan umat sebagai tujuan pendidikan Islam sangat tergantung pada gaya
dan karakteristik kepemimpinan. Dengan demikian kualifikasi yang harus dipenuhi
oleh seorang pemimpin mencakup semua karakteristik yang mampu membuat
kepemimpinan dapat dirasakan manfaat oleh orang lain.
Dalam
konsep Syari’at Islam, kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin telah
dirumuskan dalam suatu cakupan sebagai berikut:
a)
Pemimpin
haruslah orang-orang yang amanah. Amanah dimaksud berkaitan dengan banyak hal,
salah satu di antaranya berlaku adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya
terhadap kelompok, golongan atau kaum muslimin saja, tetapi mencakup seluruh
manusia bahkan seluruh makhluk. Dalam al-Qur’an surah an-Nisa’: 58 dijelaskan: Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.[6]
Ayat di atas memerintahkan menunaikan amanat, ditekankannya bahwa amanat
tersebut harus ditunaikan kepada ahliha yakni pemiliknya. Ketika memerintahkan
menetapkan hukum dengan adil, dinyatakannya “apabila kamu menetapkan hukum di
antara manusia”. Ini bearti bahwa perintah berlaku adil itu ditunjukkan
terhadap manusia secara keseluruhan.[7]
b)
Seorang
pemimpin haruslah orang-orang yang berilmu, berakal sehat, memiliki kecerdasan,
kearifan, kemampuan fisik dan mental untuk dapat mengendalikan roda
kepemimpinan dan memikul tanggungjawab. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an
surah An-Nisa’: 83 “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang
keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (Rasul dan ulil Amri) kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada
kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di
antaramu)”[8]Maksud
ayat di atas adalah kalau mereka menyerahkan informasi tentang keamanan atau
ketakutan itu kepada Rasulullah Saw apabila bersama mereka, atau kepada
pemimpin-pemimpin mereka yang beriman, niscaya akan diketahui hakikatnya oleh
orang-orang yang mampu menganalisis hakikat itu dan menggalinya dari
celah-celah informasi yang saling bertentangan dan tumpang tindih.[9]
c)
Pemimpin
harus orang-orang yang beriman, bertaqwa dan beramal shaleh, tidak boleh orang
dhalim, fasiq, berbut keji, lalai akan perintah Allah Swt dan melanggar
batas-batasnya. Pemimpin yang dhalim, batal kepemimpinannya.
d)
Bertanggung
jawab dalam pelaksanaan tatanan kepemimpinan sesuai dengan yang dimandatkan
kepadanya dan sesuai keahliannya. Sebaliknya Negara dan rakyat akan hancur bila
dipimpin oleh orang yang bukan ahlinya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw
“Apabila diserahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya maka tungguhlah
kehancuran suatu saat”.
e)
Senantiasa
menggunakan hukum yang telah ditetapkan Allah, seperti yang Allah jelaskan
dalam al-Qur’an. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[10]
Ayat di atas merupakan perintah untuk taat kepada Allah, Rasul, dan Ulil
Amri (ulama dan umara). Oleh karena Allah berfirman “Taatlah kepada Allah”,
yakni ikutilah kitab-nya, “dan taatlah kepada Rasul”, yakni pegang teguhlah
sunnahnya, “dan kepada Ulim Amri di antara kamu”, yakni terhadap ketaatan yang
mereka perintahkan kepadamu, berupa ketaatan kepada Allah bukan ketaatan kepada
kemaksiatan terhadap-Nya. Kemudian apabila kamu berselisih tentang suatu hal
maka kembalilah kepad al-Qur’an dan hadits.[11] Ayat
ini turun tatkala terjadi sengketa antara orang Yahudi dengan seorang munafik.
Orang munafik ini meminta kepada Ka’ab bin Asyraf agar menjadi hakim di antara
mereka, sedangkan orang Yahudi miminta kepada Nabi Saw. Lalu kedua orang yang
bersengketa itu pun datang kepada Nabi Saw yang memberikan kemenangan kepada orang
Yahudi. Orang munafik itu tidak rela menerimanya, lalu mereka mendatangi Umar
dan si Yahudi pun menceritakan persoalannya, kata Umar kepada orang munafik
“Benarkah demikian?” “Benar” jawabnya. Maka orang itu pun dibunuh oleh Umar.[12]
Tidak
meminta jabatan, atau menginginkan jabatan tertentu, sabda Rasulullah Saw “
Sesungguhnya kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada seseorang yang
memintanya, tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.”
(H.R . Muslim).
[1] Lihat QS, Al
Mukminun [23], 8-9
[2] Raihan Putri, Kepemimpinan
Perempuan Dalam Islam, (Yogyakarta: AK Group, 2006), hal. 52
[3] Muslich
Shabir, Terjemah Riyadhus Shalihin, jilid 1, (Semarang: Karya Toha
Putra, 2004), hal. 335
[4] Raihan Putri, Kepemimpinan
Perempuan Dalam Islam, h. 57
[5] Abdul
Al-Rahman Ibnu Khaldun, Muqaddimat, (t.t.t: Maktabah Al-Tijariyah
Al-Kubs, t.t). hal. 191
[6] Lihat QS
an-Nisa’ [4] 58
[7] M.Quraish
Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur’an, Volume 2,
(Ciputat: Lentera Hati, 2000) Cet 1, hal. 458.
[8] Lihat QS,
an-Nisa [4], 83
[9] Sayyid Quthb, (pen,
As’ad Yasin), Tafsir fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press,
2002), hal. 54
[10] Lihat QS, an-Nisa’
[4] 59
[11] Ibnu Katsir,
(Pen, M. Nasib Ar-Rifa’i), Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema
Insani, 1999), hal. 740-741.
[12] Imam
Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, (Pen, Bahrun Abubakar)
Tafsir Jalalain, Berikut Asbabun Nuzul Ayat, , (Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 2006), cet 4, hal. 343
Tidak ada komentar:
Posting Komentar