Minggu, 31 Agustus 2014

sang penggembala

Sang penggembala
          Semilir angin berhembus sepoi –sepoi disore itu, sang penggembala duduk dibawah pohon yang rindang sambil mengamati gembalaanya yang sedang lahap menyantap rumput-rumput hijau yang terhampar luas, perasaan sang penggembala sangatlah senang melihat gembalaanya kenyang dan sehat, Sore pun perlahan-lahan mulai meninggalkan sang penggembala dan kambingnya, itu pertanda sang penggembala harus mengantar gembalaanya kekandang untuk beristirahat.
          Seperti haari-hari biasanya, sepulang sekolah sang penggembala menggiring gembalaanya ke padang rumput dan kemudia sang penggembala menungguinya dibawah pohon sambil menikmati indahnya pemandangan dan semilir angin, suasana pedesaan sungguh sangat terasa sekali, dimana tidak ada hiruk pikuk kemacetan, kebisingan, polusi dan sebagainya, betapa indah tempat ini, “terbesit dalam benak sang penggembala”.
          Hari-hari pun berlalu seperti biasanya dan penuh dengan rasa senang, keeksotikan alam dan pertumbuhan kambing-kambing yang semakin gemuk membuat kebahagiaan ini makin lengkap, namun suatu ketika kebahagiaan itu terganggu dengan cibiran orang yang mencibir sang penggembala, maklum lah penggembala adalah pekerjaan yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat umum, Banyak yang mencemooh dan malu jika bergaul dengan penggembala, hingga ahirnya suatu ketika sang penggembala berfikir untuk berhenti menjadi penggembala karna tak kuat menghadapi cibiran dan cemoohan dari orang-orang yang ada disekitarnya.
          Dalam renungan sang penggembala “ memang benar apa kata orang –orang itu bahwa penggembala adalah orang rendahan yang tak punya wibawa, berpakaian kumuh, tak berpendidikan, kampungan dan lain sebagainya maka wajar saja jika mereka tidak mau berteman dengan aku dan malu dekat-dekat dengan aku, Pada saat itu juga sang penggembala memutuskan untuk tidak menggembala lagi.
          Satu hari pun berlalu namun cibiran itu masih terngiang di telinga sang penggembala, dua, tiga hari sampai seminggu cibiran dan cemoohan itu masih membekas direlung hati sang penggembala hingga ia pun tak tau harus berbuat apa, image penggembala sudah membekas didirinya, kemanapun dia pergi image itu selalu disandangnya, sungguh beban mental yang berat yang disandang sang penggembala, Karna tidak kuat menanggung beban tersebut ahirnya sang penggembala mengadu kepada bapaknya yang menyuruhnya untuk menggembala.
          Sang penggembala berkata kepada bapaknya: “bapak, aku sudah tidak sanggup lagi menjadi penggembala, beban mental yang aku tanggung sungguh besar, aku tak sanggup menghadapi cibiran, cemoohan dari orang-orang yang ada disekitarku, memang benar, aku merasa bahagia dengan gembalaan ku dan akupun merasa sukses karna gembalaanku berkembang biak sehingga jumlahnya berlipat ganda, namun harga diri ku selalu dihina oleh orang-orang pak, aku mau berhenti saja jadi penggembala”.
          Sang bapak pun menjawab dengan senyum: “Anakku, bukan maksut bapak menghinakan darah daging bapak sendiri, mana mungkin ada bapak yang ingin anaknya dihina, dicibir dan sebagainya, aku hanya ingin kamu itu kuat dan tahan banting dalam mengarungi kehidupan diluar nanti jika sudah tidak bersamaku lagi, kamu tahu nak dunia luar itu sangat keras dan penuh tantangan jika kamu menghadapi itu saja tidak mampu, mana mungkin kamu bisa menghadapi dunia luar.
          Kamu itu tidak usah malu nak, Nabi Muhammad aja dulunya penggembala, nabi musa juga, mereka adalah seorang nabi tapi tidak malu menjadi penggembala kenapa kamu harus malu wahai anakku.
          Ada nilai-nilai dan pengalaman yang ingin aku berikan kepada mu dari menjadi sang penggembala, diantaranya kamu itu harus kuat mental dan fisikmu jika ingin menjadi orang sukses, kamu harus terbiasa tahan banting agar tidak mudah terperosok kedalam jurang kegagalan, aku ingin kamu menjadi pemimpin yang perduli terhadap rakyatnya seperti kamu perduli pada kambingmu yang lapar, ketika menjadi pemimpin nanti kau harus rela lapar demi kenyangnya rakyatmu, dengan menggembala aku ingin kau terbiasa dengan kesederhanaan demi kemewahan gembalaanmu, aku sedih melihat para pemimpin yang bermental krupuk, harusnya pemimpin itu bermental penggembala yang sederhana namun berfikir luas demi kesejahteraan gembalaanya (rakyatnya).
          Kalau kamu dicibir dan dicemooh kayak gitu sudah layu bagaimana kamu menghadapi penjajah modern, yang menyerbu kekuasaanmu bukan dengan senjata, pistol atau bom namun pakai idiologi, ekonomi dan budaya, mentalmu harus kuat demi kesejahteraan gembalaan itu, dan yang terpenting kau itu bisa menjadi pemimpin yang bermental penggembala, rela lapar demi rakyat kenyang, rela miskin demi rakyat sejahtera, rela mengorbankan waktu, mampu memberi rasa aman.

          Ahirnya sang penggembala menyadari arti dari perintah bapaknya tersebut, orang tua tidak mungkin menjerumuskan anaknya sendiri kelembah kesengsaraan, orang tua itu ingin anaknya bahagia dan sukses. Namun kadang cara yang dipakai tidak sepenuhnya dmengerti oleh sang anak perlu waktu bagi sang anak untuk memahmi apa yang orang tua lakukan terhadapnya.Sang penggembala
          Semilir angin berhembus sepoi –sepoi disore itu, sang penggembala duduk dibawah pohon yang rindang sambil mengamati gembalaanya yang sedang lahap menyantap rumput-rumput hijau yang terhampar luas, perasaan sang penggembala sangatlah senang melihat gembalaanya kenyang dan sehat, Sore pun perlahan-lahan mulai meninggalkan sang penggembala dan kambingnya, itu pertanda sang penggembala harus mengantar gembalaanya kekandang untuk beristirahat.
          Seperti haari-hari biasanya, sepulang sekolah sang penggembala menggiring gembalaanya ke padang rumput dan kemudia sang penggembala menungguinya dibawah pohon sambil menikmati indahnya pemandangan dan semilir angin, suasana pedesaan sungguh sangat terasa sekali, dimana tidak ada hiruk pikuk kemacetan, kebisingan, polusi dan sebagainya, betapa indah tempat ini, “terbesit dalam benak sang penggembala”.
          Hari-hari pun berlalu seperti biasanya dan penuh dengan rasa senang, keeksotikan alam dan pertumbuhan kambing-kambing yang semakin gemuk membuat kebahagiaan ini makin lengkap, namun suatu ketika kebahagiaan itu terganggu dengan cibiran orang yang mencibir sang penggembala, maklum lah penggembala adalah pekerjaan yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat umum, Banyak yang mencemooh dan malu jika bergaul dengan penggembala, hingga ahirnya suatu ketika sang penggembala berfikir untuk berhenti menjadi penggembala karna tak kuat menghadapi cibiran dan cemoohan dari orang-orang yang ada disekitarnya.
          Dalam renungan sang penggembala “ memang benar apa kata orang –orang itu bahwa penggembala adalah orang rendahan yang tak punya wibawa, berpakaian kumuh, tak berpendidikan, kampungan dan lain sebagainya maka wajar saja jika mereka tidak mau berteman dengan aku dan malu dekat-dekat dengan aku, Pada saat itu juga sang penggembala memutuskan untuk tidak menggembala lagi.
          Satu hari pun berlalu namun cibiran itu masih terngiang di telinga sang penggembala, dua, tiga hari sampai seminggu cibiran dan cemoohan itu masih membekas direlung hati sang penggembala hingga ia pun tak tau harus berbuat apa, image penggembala sudah membekas didirinya, kemanapun dia pergi image itu selalu disandangnya, sungguh beban mental yang berat yang disandang sang penggembala, Karna tidak kuat menanggung beban tersebut ahirnya sang penggembala mengadu kepada bapaknya yang menyuruhnya untuk menggembala.
          Sang penggembala berkata kepada bapaknya: “bapak, aku sudah tidak sanggup lagi menjadi penggembala, beban mental yang aku tanggung sungguh besar, aku tak sanggup menghadapi cibiran, cemoohan dari orang-orang yang ada disekitarku, memang benar, aku merasa bahagia dengan gembalaan ku dan akupun merasa sukses karna gembalaanku berkembang biak sehingga jumlahnya berlipat ganda, namun harga diri ku selalu dihina oleh orang-orang pak, aku mau berhenti saja jadi penggembala”.
          Sang bapak pun menjawab dengan senyum: “Anakku, bukan maksut bapak menghinakan darah daging bapak sendiri, mana mungkin ada bapak yang ingin anaknya dihina, dicibir dan sebagainya, aku hanya ingin kamu itu kuat dan tahan banting dalam mengarungi kehidupan diluar nanti jika sudah tidak bersamaku lagi, kamu tahu nak dunia luar itu sangat keras dan penuh tantangan jika kamu menghadapi itu saja tidak mampu, mana mungkin kamu bisa menghadapi dunia luar.
          Kamu itu tidak usah malu nak, Nabi Muhammad aja dulunya penggembala, nabi musa juga, mereka adalah seorang nabi tapi tidak malu menjadi penggembala kenapa kamu harus malu wahai anakku.
          Ada nilai-nilai dan pengalaman yang ingin aku berikan kepada mu dari menjadi sang penggembala, diantaranya kamu itu harus kuat mental dan fisikmu jika ingin menjadi orang sukses, kamu harus terbiasa tahan banting agar tidak mudah terperosok kedalam jurang kegagalan, aku ingin kamu menjadi pemimpin yang perduli terhadap rakyatnya seperti kamu perduli pada kambingmu yang lapar, ketika menjadi pemimpin nanti kau harus rela lapar demi kenyangnya rakyatmu, dengan menggembala aku ingin kau terbiasa dengan kesederhanaan demi kemewahan gembalaanmu, aku sedih melihat para pemimpin yang bermental krupuk, harusnya pemimpin itu bermental penggembala yang sederhana namun berfikir luas demi kesejahteraan gembalaanya (rakyatnya).
          Kalau kamu dicibir dan dicemooh kayak gitu sudah layu bagaimana kamu menghadapi penjajah modern, yang menyerbu kekuasaanmu bukan dengan senjata, pistol atau bom namun pakai idiologi, ekonomi dan budaya, mentalmu harus kuat demi kesejahteraan gembalaan itu, dan yang terpenting kau itu bisa menjadi pemimpin yang bermental penggembala, rela lapar demi rakyat kenyang, rela miskin demi rakyat sejahtera, rela mengorbankan waktu, mampu memberi rasa aman.
          Ahirnya sang penggembala menyadari arti dari perintah bapaknya tersebut, orang tua tidak mungkin menjerumuskan anaknya sendiri kelembah kesengsaraan, orang tua itu ingin anaknya bahagia dan sukses. Namun kadang cara yang dipakai tidak sepenuhnya dmengerti oleh sang anak perlu waktu bagi sang anak untuk memahmi apa yang orang tua lakukan terhadapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar