Oleh : Abdul Aziz
Semilir
angin berhembus sepoi –sepoi disore itu, sang penggembala duduk dibawah pohon
yang rindang sambil mengamati gembalaanya yang sedang lahap menyantap rumput-rumput
hijau yang terhampar luas, perasaan sang penggembala sangatlah senang melihat
gembalaanya kenyang dan sehat, Sore pun perlahan-lahan mulai meninggalkan sang
penggembala dan kambingnya, itu pertanda sang penggembala harus mengantar
gembalaanya kekandang untuk beristirahat.
Seperti
haari-hari biasanya, sepulang sekolah sang penggembala menggiring gembalaanya ke
padang rumput dan kemudia sang penggembala menungguinya dibawah pohon sambil
menikmati indahnya pemandangan dan semilir angin, suasana pedesaan sungguh
sangat terasa sekali, dimana tidak ada hiruk pikuk kemacetan, kebisingan,
polusi dan sebagainya, betapa indah tempat ini, “terbesit dalam benak sang
penggembala”.
Hari-hari
pun berlalu seperti biasanya dan penuh dengan rasa senang, keeksotikan alam dan
pertumbuhan kambing-kambing yang semakin gemuk membuat kebahagiaan ini makin
lengkap, namun suatu ketika kebahagiaan itu terganggu dengan cibiran orang yang
mencibir sang penggembala, maklum lah penggembala adalah pekerjaan yang
dipandang sebelah mata oleh masyarakat umum, Banyak yang mencemooh dan malu
jika bergaul dengan penggembala, hingga ahirnya suatu ketika sang penggembala
berfikir untuk berhenti menjadi penggembala karna tak kuat menghadapi cibiran
dan cemoohan dari orang-orang yang ada disekitarnya.
Dalam
renungan sang penggembala “ memang benar apa kata orang –orang itu bahwa
penggembala adalah orang rendahan yang tak punya wibawa, berpakaian kumuh, tak
berpendidikan, kampungan dan lain sebagainya maka wajar saja jika mereka tidak
mau berteman dengan aku dan malu dekat-dekat dengan aku, Pada saat itu juga
sang penggembala memutuskan untuk tidak menggembala lagi.
Satu
hari pun berlalu namun cibiran itu masih terngiang di telinga sang penggembala,
dua, tiga hari sampai seminggu cibiran dan cemoohan itu masih membekas direlung
hati sang penggembala hingga ia pun tak tau harus berbuat apa, image
penggembala sudah membekas didirinya, kemanapun dia pergi image itu selalu
disandangnya, sungguh beban mental yang berat yang disandang sang penggembala,
Karna tidak kuat menanggung beban tersebut ahirnya sang penggembala mengadu
kepada bapaknya yang menyuruhnya untuk menggembala.
Sang
penggembala berkata kepada bapaknya: “bapak, aku sudah tidak sanggup lagi
menjadi penggembala, beban mental yang aku tanggung sungguh besar, aku tak
sanggup menghadapi cibiran, cemoohan dari orang-orang yang ada disekitarku, memang
benar, aku merasa bahagia dengan gembalaan ku dan akupun merasa sukses karna
gembalaanku berkembang biak sehingga jumlahnya berlipat ganda, namun harga diri
ku selalu dihina oleh orang-orang pak, aku mau berhenti saja jadi penggembala”.
Sang
bapak pun menjawab dengan senyum: “Anakku, bukan maksut bapak menghinakan darah
daging bapak sendiri, mana mungkin ada bapak yang ingin anaknya dihina, dicibir
dan sebagainya, aku hanya ingin kamu itu kuat dan tahan banting dalam mengarungi
kehidupan diluar nanti jika sudah tidak bersamaku lagi, kamu tahu nak dunia
luar itu sangat keras dan penuh tantangan jika kamu menghadapi itu saja tidak
mampu, mana mungkin kamu bisa menghadapi dunia luar.
Kamu
itu tidak usah malu nak, Nabi Muhammad aja dulunya penggembala, nabi musa juga,
mereka adalah seorang nabi tapi tidak malu menjadi penggembala kenapa kamu
harus malu wahai anakku.
Ada
nilai-nilai dan pengalaman yang ingin aku berikan kepada mu dari menjadi sang
penggembala, diantaranya kamu itu harus kuat mental dan fisikmu jika ingin
menjadi orang sukses, kamu harus terbiasa tahan banting agar tidak mudah
terperosok kedalam jurang kegagalan, aku ingin kamu menjadi pemimpin yang
perduli terhadap rakyatnya seperti kamu perduli pada kambingmu yang lapar,
ketika menjadi pemimpin nanti kau harus rela lapar demi kenyangnya rakyatmu,
dengan menggembala aku ingin kau terbiasa dengan kesederhanaan demi kemewahan
gembalaanmu, aku sedih melihat para pemimpin yang bermental krupuk, harusnya
pemimpin itu bermental penggembala yang sederhana namun berfikir luas demi
kesejahteraan gembalaanya (rakyatnya).
Kalau
kamu dicibir dan dicemooh kayak gitu sudah layu bagaimana kamu menghadapi penjajah
modern, yang menyerbu kekuasaanmu bukan dengan senjata, pistol atau bom namun
pakai idiologi, ekonomi dan budaya, mentalmu harus kuat demi kesejahteraan
gembalaan itu, dan yang terpenting kau itu bisa menjadi pemimpin yang bermental
penggembala, rela lapar demi rakyat kenyang, rela miskin demi rakyat sejahtera,
rela mengorbankan waktu, mampu memberi rasa aman.
Ahirnya
sang penggembala menyadari arti dari perintah bapaknya tersebut, orang tua
tidak mungkin menjerumuskan anaknya sendiri kelembah kesengsaraan, orang tua
itu ingin anaknya bahagia dan sukses. Namun kadang cara yang dipakai tidak sepenuhnya
dmengerti oleh sang anak perlu waktu bagi sang anak untuk memahmi apa yang
orang tua lakukan terhadapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar