Minggu, 06 September 2015

Hudan dan Syifa’ (Sebuah Telaah Qur’ani)

                                     Apa yang sempat terlintas di benak kita, ketika pertama kali membaca judul artikel ini? Secara umum biasanya ada dua konsep pertanyaan, yaitu “siapa”, dan “apa”. Bagi yang mempunyai kecenderungan pertanyaan “siapa” dapat di maklumi, mungkin dia seorang yang aktif bersosialisasi dengan banyak manusia, atau penggemar sinetron, atau malah sering eling mantan pacar, barangkali saja. Terus mengenai “apa”?, itu yang akan kita selami maknanya di sini.
            Apa itu hudan?, apa pula itu syifa’?. Bagi mahasiswa pecinta Al-Qur’an (baca: mahasiswa PTIQ,IIQ) pasti tidak asing dengan dua istilah yang dalam QS. Fushshilat (41): 44 ini tergabung dalam satu redaksi, ...qul huwa lilladzina amanu hudan wa syifa’...yang artinya: “...katakanlah (hai Muhammad), Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh (obat) bagi orang-orang yang beriman...”. Secara sederhana dapat diartikan hudan itu petunjuk, syifa’ itu obat.
            Al-Qur’an sebagai petunjuk, tentu saja. Muslim di seluruh dunia mengetahuinya, meskipun mungkin hanya sedikit dari mereka yang “mengakuinya”. Pengakuan di sini tentu berdasar atas keyakinan dan pengetahuan akan kebenaran dan sisi pencerahan yang diberikan Al-Qur’an.  Dengan adanya petunjuk, seseorang akan mengetahui posisinya dan posisi segala sesuatu di alam ini, sehingga dia menyadari keberadaan tingkat (maratib) dan posisi (maqam) dari segala sesuatu. Kesadaran inilah yang akan menghantarkan seseorang pada pengakuan penghambaannya (‘ubudiyyah) setelah mengerti dan menyadari kekuasaan Allah (rububiyyah).
            Petunjuk mengantarkan manusia menjauh dari dhalal (kesesatan). Teramat banyak kalau harus disebutkan bentuk-bentuk kesesatan manusia, bahkan mengaggap sesat orang tanpa qarinah yang jelas saja adalah bentuk kesesatan, ya Allah. Di sini tidak usahlah kita menyoroti orang lain, Eyang Subur misalkan, cukup kita introspeksi diri sendiri, sudahkah kita mendapatkan hudan ?, sudahkah kita jauh dari dhalal?. Ukur saja diri kita masing-masing.
            Dalam sistem pendidikan Islam, sejak dini, seorang anak akan diperkenalkan pertama-tama dengan kitab suci Al-Qur’an yang merupakan landasan bagi semua ilmu dalam ajaran Islam. Hal ini dikarenakan sesuatu yang diajarkan pada masa dini akan mengakar kuat lebih dari segala sesuatu, dan impresi pertama yang diterima oleh hati akan menjadi fondasi dari semua

intelektualitas. Seorang anak akan terbiasa dengan terminologi-terminologi dan kata-kata kunci Al-Qur’an, sehingga definisi kata-kata tersebut dipikirkan mereka diambil langsung dari Al-Qur’an. Di sinilah hal yang sangat penting dan fundamental terjadi. Hasil dari sistem pendidikan ini adalah pemikiran seorang muslim yang sangat Qur’ani dan tidak lepas dari ajaran kitab suci. Hasil yang sangat nyata dari upaya sistem tersebut adalah sentralitas Allah sebagai Tuhan dalam pemikiran kaum Muslimin.
            Tentu sebagai pecinta Al-Qur’an kita ingat, ketika kita belajar Al-Qur’an sejak kecil sampai sekarang ini. Namun, coba kita pikir, cukup efektifkah sistem pendidikan yang kita dapat saat ini ?, mengapa seakan kita fokus pada aspek qira’ah, membaca saja. Penekanan yang keterlaluan pada seni membaca Al-Qur’an, baik itu tajwid, nagham,  ataupun aneka cara membacanya (qira’ah sab’ah) belum tentu bisa mengantar kita mendapatkan hudan (kalau dapat Mas Hudan iya, bisa). Di sini tidak dikatakan bahwa tajwid maupun qira’ah sab’ah tidak penting, namun penekanan terlalu berat pada aspek tersebut tidak akan menghasilkan apa-apa. Cara membaca Al-Qur’an dengan benar adalah salah satu yang wajib dipelajari, namun isi dan ajaran-ajarannya serta penggunaan terminologinya juga tidak boleh diabaikan. Karena kedua aspek inilah yang akan membentuk pemikiran seseorang, dan secara logis lebih dekat mengantarkan manusia memperoleh hudan-Nya. Idealnya sebuah institusi pendidikan Islam, apalagi yang berembel-embel Al-Qur’an, bukan hanya dikenal dalam menghasilkan ahli tajwid maupun ahli qira’at saja, atlet MHQ atau MTQ saja, tetapi mencetak manusia-manusia yang berjiwa dan berpemikiran Qur’ani.
            Sebagaimana kita kita ketahui, terminologi syifa’ secara singkat dapat kita artikan obat. Al-Qur’an adalah obat segala “penyakit” manusia, lahir dan bathin. Ibarat apotek, persediaan “obat” Al-Qur’an sangat lengkap. Manusia berimanlah yang mesti pandai-pandai menggunakannya agar menjadi obat yang mujarab. Seperti salah obat, salah menggunakan ayat juga bisa berdampak fatal. Bayangkan jika ayat 59 surat al-Maidah (Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, Rasulullah, dan pemegang kekuasaan kalian) digunakan oleh pemimpin dzalim penuh KKN untuk mengintimidasi rakyatnya agar taat. Di sisi lain rakyat selalu menuntut realisasi ayat sebelumnya, ayat 58 surat al-Maidah (Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.



Dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia, hendaknya kamu menetapkannya dengan adil), padahal mereka mengabaikan peraturan yang mesti ditaati. Keadaan sebuah bangsa yang
demikian tentu akan bergejolak. Sebaliknya, sebuah bangsa akan damai dan adil jika pemimpinnya menjalankan surat al-Maidah ayat 58 dan rakyatnya mengamalkan ayat 59 sebagaimana di atas.
            Orang tua yang arif, akan lebih menggunakan ayat 15 surat at-Taghabun sebagai obat hatinya tatkala menghadapi anak-anak yang menguji kesabaran. Dengan ayat itu rasa kesal akan terobati oleh kesadaran hakikat anak sebagai cobaan. Do’apun akan terpanjatkan untuk sang anak agar menjadi shaleh. Keadaan akan lain jika orang tua yang dibentak anaknya menjatuhkan vonis “durhaka” kepada anak karena melakukan larangan Al-Qur’an (QS. Al-Isra’: 23). Idealnya, ayat yang melarang anak berkata yang menyakitkan orang tua adalah yang menjadi pedoman sang anak, sekalipun orang tua jauh dari nilai-nilai ideal sang anak.
            Salah ayat bisa membuat keadaan menjadi tidak lebih baik, apalagi sampai meninggalkan Al-Qur’an, persoalan yang dihadapi tentu tak kunjung selesai. Begitu pula sikap berlebihan dalam “salah memposisikan” Al-Qur’an. Misalnya, dibaca tanpa henti sebulan penuh tanpa ada aktifitas lain agar masalah selesai. Yang terjadi justru keluarga dan urusan wajib lain berantakan karenanya.
            Al-Qur’an memang hudan (petunjuk) dan juga syifa’ (obat) bagi problematika kehidupan. Tentunya jika kita bisa cerdas dan tanggap dalam memahami isi dan kandungannya. Seorang pecinta Al-Qur’an tentu akan mendalami luasnya ilmu-ilmu Al-Qur’an, bukan hanya membacanya sampai serak hanya untuk mendapatkan Mas Hudan atau Mba’ Syifa’, tetapi untuk mendapatkan petunjuk dan obat atas segala permasalahan uma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar