Oleh : Abdul Aziz
Kegagalan strategi pemberantasan korupsi di masa lalu adalah
pelajaran bagi bangsa untuk menetapkan langkah ke depan strategi dalam
pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi idealnya harus mengandung dua
unsur, yaitu penindakan dan pencegahan. Dua unsur tersebut harus diusahakan
agar dapat berjalan seiring saling melengkapi yakni korupsi harus dipetakan
secara seksama dan dicari akar permasalahannya kemudian dirumuskan konsepsi
pencegahannya. Sementara tidak pidana korupsi yang terus berlangsung harus
dilakukan penegakan hukum secara konsisten, profesional agar pelanggaran serupa
tidak terjadi lagi di kemudian hari. Apabila pendekatan tersebut dapat
dilaksanakan secara konsisten, maka diharapkan pemberantasan korupsi dapat diwujudkan
dengan lebih efektif, sistemik, berdaya guna, dan berhasil guna.
Fakta Korupsi di Indonesia
Kondisi korupsi di Indonesia masuk dalam kategori kronis dari
waktu ke waktu, karena secara umum sistem penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia masih belum berorientasi sepenuhnya terhadap pelaksanaan
prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Oleh karenanya tidak mengherankan bila Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
berdasarkan survey Transparansi Internasional, memperoleh indeks pada kisaran
angka 2 dari tahun 2004 hingga tahun 2007. IPK hingga saat ini diyakini sebagai
pendekatan yang sah untuk melihat tingkat korupsi di suatu negara.
Berdasarkan
studinya Transparansi Indonesia rendahnya IPK Indonesia disebabkan oleh adanya
praktek korupsi dalam urusan layanan pada bidang bisnis, antara lain meliputi ijin-ijin usaha (ijin domisili, ijin usaha, HGU, IMB,
ijin ekspor, angkut barang, ijin bongkar muat barang,), pajak (restitusi pajak, penghitungan pajak,
dispensasi pajak), pengadaan
barang dan jasa pemerintah (proses
tender, penunjukkan langsung), proses pengeluaran dan pemasukan barang di
pelabuhan (bea cukai), pungutan
liar oleh polisi, imigrasi,
tenaga kerja, proses
pembayaran termin proyek dari
KPKN (Kantor Perbendaharaan Kas Negara).
Hasil dari studi
yang dilakukan TI ini sejalan dengan Studi Integritas yang dilakukan oleh
Direktorat Litbang KPK di tahun 2007. Bahwa unit-unit layanan tersebut
seperti Pajak, Bea cukai, layanan ketenagakerjaan, dan keimigrasian masih memperoleh
nilai skor integritas yang rendah. Dengan rentang nilai 0-10, layanan TKI di
terminal 3 memiliki skor integritas yang rendah yakni 3,45 sementara layanan
pajak mempunyai skor yang sedikit lebih baik yakni 5,96. Skor integritas unit layanan yang ada di Indonesia
ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan di negara lain seperti Korea. Di
Korea, rata-rata skor integritas sudah berada di 7 dan telah banyak unit
layanan yang memiliki nilai integritas di atas 8 bahkan sudah ada yang mencapai
nilai 9.
Ironisnya, berdasarkan studi ini, justru rendahnya kualitas layanan yang diterima publik selama ini menyebabkan tumbuhnya persepsi dalam masyarakat (pengguna layanan) bahwa pemberian imbalan merupakan hal yang wajar dalam proses pengurusan pelayanan. Pemberian imbalan saat pengurusan layanan dianggap sebagian besar responden dalam penelitian ini sebagai tanda terima kasih atas pelayanan yang diberikan. Artinya mereka kurang memahami bahwa layanan yang mereka terima tersebut merupakan hak yang memang seharusnya mereka terima, sementara pemberi layanan memang memiliki kewajiban dan tugas untuk memberi layanan kepada mereka. Kekurangpahaman masyarakat terhadap tugas dan kewajiban pemberi layanan membuat mereka merasa berhutang budi sehinga mereka membalas layanan yang telah mereka terima dengan memberikan imbalan kepada pemberi layanan tersebut.
Ironisnya, berdasarkan studi ini, justru rendahnya kualitas layanan yang diterima publik selama ini menyebabkan tumbuhnya persepsi dalam masyarakat (pengguna layanan) bahwa pemberian imbalan merupakan hal yang wajar dalam proses pengurusan pelayanan. Pemberian imbalan saat pengurusan layanan dianggap sebagian besar responden dalam penelitian ini sebagai tanda terima kasih atas pelayanan yang diberikan. Artinya mereka kurang memahami bahwa layanan yang mereka terima tersebut merupakan hak yang memang seharusnya mereka terima, sementara pemberi layanan memang memiliki kewajiban dan tugas untuk memberi layanan kepada mereka. Kekurangpahaman masyarakat terhadap tugas dan kewajiban pemberi layanan membuat mereka merasa berhutang budi sehinga mereka membalas layanan yang telah mereka terima dengan memberikan imbalan kepada pemberi layanan tersebut.
Attitude atau perilaku dalam menerima mau pun
memberikan suap, kejahatan korupsi yang melibatkan perbankan, pengadaan barang
dan jasa secara nasional yang korup, money
politic, money
laundering, korupsi oleh penegak hukum merupakan kasus korupsi di
Indonesia yang harus ditangani lebih efektif. Semua informasi tersebut merupakan kondisi
riil tentang luas dan kompleksnya korupsi di Indonesia yang membutuhkan
Strategi Pemberantasan Korupsi yang Sistemik.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Pemberantasan korupsi yang sistemik dan konsisten
merupakan kunci tercapainya visi Indonesia yang bebas korupsi. Namun meski
pun merupakan hal yang sulit, pemberantasan korupsi yang sistemik di Indonesia
bukan merupakan hal yang mustahil, terlebih dengan adanya lembaga seperti KPK
yang mempunyai kewenangan yang lengkap di bidang penindakan maupun
pencegahan.
Dengan strategi pencegahan yang memperhatikan prinsip supply dan demand, dan strategi penindakan yang difokuskan pada peningkatan efek jera dan penyelamatan kebocoran keuangan negara yang dipadukan dalam suatu strategic map yang terintegrasi memberikan harapan bahwa proses pemberantasan korupsi di Indonesia dapat segera terwujud.
Meski pun KPK sudah dilengkapi dengan berbagai
kewenangan dan fasilitas yang menunjang untuk menjadi focal point dalam
pemberantasan korupsi yang sistemik di Indonesia, namun tetap dibutuhkan
beberapa prasyarat demi tercapainya visi Indonesia yang bebas korupsi. Secara umum
prasyarat keberhasilan suatu strategi pemberantasan korupsi adalah: (i)
kesiapan dan keahlian dari personel penegak hukum dalam menangani kasus
korupsi yang semakin sistemik dan rumit, (ii) perlunya dukungan politik yang
konsisten dari pemerintah, serta (iii) perlunya dukungan masyarakat luas baik
masyarakat Indonesia mau pun dukungan internasional untuk mendukung
terlaksananya program antikorupsi yang telah disusun dan dipublikasikan
selama ini. Pemberantasan korupsi harus diorientasikan kepada usaha penyelamatan
keuangan dan kekayaan negara, memerangi kemiskinan dan keterbelakangan.
Seiring dengan peringatan seratus tahun hari Kebangkitan Nasional penulis
mengajak masyarakat untuk secara bersama-sama untuk memerangi korupsi dan
meninggalkan perilaku koruptif demi peningkatan kualitas hidup masyarakat
Indonesia.[]
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar