Jumat, 14 Agustus 2015

Waspada Pengemis Musiman dan Permanen

Oleh : Abdul Aziz

          Majelis Ulama Indonesia (MUI)  telah mengeluarkan fatwa tentang pengemis “Mengemis dan yang memberi sedekah kepada penegemis adalah perbuatan haram”. Fatwa ini dikeluarkan  tidak lepas dari semakin maraknya pengemis di kota-kota besar di Indonesia. Laskar  pengemis  dapat dijumpai  hampir di setiap lampu merah, pinggiran jalan, pasar tradisional atau modern dan bahkan di  tempat ibadah. Fatwa ini senada dengan perda Perda No 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum dan Strategi Pengembangan Ketertiban Umum.

          Munculnya pengemis  merupakan sebuah fenomena yang terjadi akibat dari kegagalan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, sehingga tidak mampu mensejahterakan  rakyatnya. Ulah dari para pejabat yang tidak amanah dan korup sehingga pembangunan tidak berjalan seperti apa yang diharapkan dalam undang-undang 45 dan buntut dari itu semua adalah lahirnya  kesenjangan sosial dan kesenjangan materi sehingga yang kaya makin kaya dan yang miskin semakin miskin, dengan kata lain munculnya  pengemis tidak semata-mata kesalahan ataupun keinginan mereka sendiri, Laskar pengemis muncul akibat dimiskinkan oleh keadaan yang populer disebut dengan  istilah kemiskinan struktural.

          Adakah orang yang mau terlahir di dunia dalam keadaan miskin dan berprofesi sebagai pengemis? Tentunya tidak ada satupun orang pun yang memimpikan hal itu. Menurut hemat penulis, MUI harusnya lebih bijaksana dalam mengeluarkan fatwa, Mestinya yang difatwakan bukan sekadar “tindakan mengemisnya”. Tetapi akan lebih pas bila yang difatwakan haram adalah “sikap mental pengemis”, karena itu yang lebih berbahaya. Mengemis struktural karena keadaan, sekedar urusan perut, mempertahankan hidup. Namun sikap mental pengemis akan menimbulkan sifat rakus, serakah dan akan merusak sendi-sendi kehidupan serta kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
          Saat ini yang memiliki sikap mental pengemis bukan yang pakaiannya compang-camping dan badannya lusuh serta berbau. Tetapi sebaliknya orang-orang yang secara fisik berpenampilan glamour dari golongan elite, priyayi, kaya raya, terpelajar, dan para pejabat, bisa jadi terjangkiti sikap mental pengemis. 

          Inilah yang berbahaya. Mereka selalu mencari jalan instan untuk memperkaya diri. Tidak segan-segan menjilat kiri-kanan sekadar untuk mendapatkan proyek, menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan untuk memeras rakyat secara halus inilah yang harus dibenahi agar para pejabat dan para elit politik tidak bermental pengemis karena keadaan ini sungguh sangat menyedihkan dimana dia seperti penyakit yang menggerogoti organ tubuh dari dalam tiada terasa namun pada ahirnya sangat menyengsarakan rakyat.
          Fatwa-fatwa seperti itu jelas sudah tidak berguna untuk memperbaiki suatu kondisi, fatwa-fatwa seperti itu hanya akan menjadi kata-kata. MUI harus mencari sebab mengapa masyarakat sampai mau merendahkan martabatnya demi mencari uang dengan jalan menjadi pengemis. Yang harus diberikan adalah pendidikan, bukan ‘teror’ haram. Para pengemis tersebut harus dididik, pola pikirnya harus dirubah, jiwa kemanusiaannya harus dibangkitakan. Yang melatarbelakangi  mereka mau merendahkan martabat dirinya dengan menjadi pengemis karena hilangnya jiwa kemanusiaan dari dalam diri mereka, mereka lupa akan jati dirinya sebagai manusia dan itu yang harus di kembalikan.

          Hal ini bisa terealisasikan jika pemerintah dan MUI bekerjasama untuk mengatasi maraknya pengemis dengan cara pemerintah mau menindak lanjuti fatwa MUI dengan cara membina, mendidik dan memfasilitasi mereka sehingga mereka mampu untuk mandiri dan yang terpenting adalah pemerintah mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang layak sehingga mereka bisa bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Sehingga kota yang indah dan nyaman tanpa adanya pemandangan gelandangan dan pengemis akan segera terwujud.Wallahu A’lam Bissawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar