Oleh : Abdul Aziz
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa
tentang pengemis “Mengemis dan yang memberi sedekah kepada penegemis adalah
perbuatan haram”. Fatwa ini dikeluarkan tidak
lepas dari semakin maraknya pengemis
di kota-kota besar di Indonesia. Laskar pengemis dapat
dijumpai hampir di setiap lampu merah, pinggiran jalan, pasar tradisional atau modern dan
bahkan di tempat ibadah.
Fatwa ini senada dengan perda Perda No 8 Tahun 2007
tentang Ketertiban Umum dan Strategi Pengembangan Ketertiban Umum.
Munculnya pengemis merupakan sebuah fenomena yang
terjadi akibat dari kegagalan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan,
sehingga tidak mampu mensejahterakan rakyatnya. Ulah dari para pejabat yang
tidak amanah dan korup sehingga pembangunan tidak berjalan seperti apa yang
diharapkan dalam undang-undang 45 dan buntut dari itu semua adalah lahirnya kesenjangan sosial dan kesenjangan materi
sehingga yang kaya makin kaya dan yang miskin semakin miskin, dengan kata lain munculnya pengemis tidak semata-mata kesalahan ataupun keinginan mereka sendiri, Laskar pengemis muncul akibat
dimiskinkan oleh keadaan yang populer
disebut dengan istilah “kemiskinan
struktural”.
Adakah orang yang mau terlahir di dunia dalam
keadaan miskin dan berprofesi sebagai pengemis? Tentunya
tidak ada satupun orang pun yang memimpikan hal itu. Menurut hemat penulis, MUI harusnya lebih bijaksana
dalam mengeluarkan fatwa, Mestinya yang
difatwakan bukan sekadar “tindakan mengemisnya”. Tetapi akan lebih pas bila yang
difatwakan haram adalah “sikap mental pengemis”, karena itu yang lebih
berbahaya. Mengemis struktural karena keadaan, sekedar urusan perut,
mempertahankan hidup. Namun sikap mental pengemis akan menimbulkan sifat rakus,
serakah dan akan merusak sendi-sendi kehidupan serta kesejahteraan masyarakat
pada umumnya.
Saat ini yang memiliki sikap mental
pengemis bukan yang pakaiannya compang-camping dan badannya lusuh serta berbau.
Tetapi sebaliknya orang-orang yang secara
fisik berpenampilan glamour dari golongan elite, priyayi, kaya raya,
terpelajar, dan para pejabat, bisa jadi terjangkiti sikap mental pengemis.
Inilah
yang berbahaya. Mereka selalu mencari jalan instan untuk memperkaya diri. Tidak
segan-segan menjilat kiri-kanan sekadar untuk mendapatkan proyek,
menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan untuk memeras rakyat secara halus inilah yang harus dibenahi
agar para pejabat dan para elit politik tidak bermental pengemis karena keadaan
ini sungguh sangat menyedihkan dimana dia seperti penyakit yang menggerogoti organ
tubuh dari dalam tiada terasa namun pada ahirnya sangat menyengsarakan rakyat.
Fatwa-fatwa seperti itu jelas sudah
tidak berguna untuk memperbaiki suatu kondisi, fatwa-fatwa seperti itu hanya
akan menjadi kata-kata. MUI harus mencari sebab mengapa masyarakat sampai mau
merendahkan martabatnya demi mencari uang dengan jalan menjadi pengemis. Yang harus diberikan adalah pendidikan, bukan ‘teror’
haram. Para pengemis tersebut harus dididik, pola pikirnya
harus dirubah, jiwa kemanusiaannya harus dibangkitakan. Yang melatarbelakangi mereka mau
merendahkan martabat dirinya dengan menjadi pengemis karena
hilangnya jiwa kemanusiaan dari dalam diri mereka, mereka lupa akan jati
dirinya sebagai manusia dan itu yang harus di
kembalikan.
Hal ini bisa terealisasikan jika
pemerintah dan MUI bekerjasama untuk mengatasi maraknya pengemis dengan cara
pemerintah mau menindak lanjuti fatwa MUI dengan cara membina, mendidik dan
memfasilitasi mereka sehingga mereka mampu untuk mandiri dan yang terpenting
adalah pemerintah mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang layak sehingga
mereka bisa bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Sehingga kota yang
indah dan nyaman tanpa adanya pemandangan gelandangan dan pengemis akan segera
terwujud.Wallahu A’lam Bissawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar