Oleh : Abdul Aziz
Tahun ajaran
baru telah tiba, sekolah - sekolah sudah memulai menjalankan progam
akademiknya, mulai dari PMB (Penerimaan Murid Baru), seleksi, MOS dan lain
sebagainya yang semuanya dilakukan oleh pihak sekolah, diantara rentetan progam
yang ada pada tahun ajaran baru tersebut, ada satu kegiatan yang menjadi
sorotan oleh banyak kalangan terutama pengamat pendidikan dan organisasi
perlindungan anak yaitu MOS (Masa Orientasi Siswa) pasalnya kegiatan ini setiap
tahunya selalu memakan korban jiwa, meskipun demikian kegiatan ini tetap
berlanjut dan kekal sampai sekarang.
Kalau
kita menilik kebelakang tentang sejarah MOS maka akan kita temui bahwa MOS itu
sudah ada sejak zaman kolonial belanda, tepatnya di STOVIA ( Sekolah Pendidikan
Dokter Hindia) yaitu pada tahun ( 1898-1927), pada waktu itu mereka yang baru
masuk harus menjadi anak buah seniornya dan menuruti apa yang dikatakan oleh
seniornya, jadi MOS itu sendiri sudah ada sebelum Indonesia merdeka dan
berkelanjutan sampai sekarang dengan kegiatan yang bermacam-macam mulai dari
memplonco, membully, memukul bahkan ada yang menggunakan kekerasan yang
mengakibatkan kematian.
Ajang Balas Dendam
Kegiatan
MOS yang sering kita dengar dan kita lihat sekarang ini, pada dasarnya
bertujuan baik, yaitu mengenalkan siswa kepada lingkungan sekolah, progam
akademik, tugas-tugas siswa dan semua yang berkaitan dengan sekolah namun pada
kenyataanya bukan demikian yang terjadi malah sebaliknya, MOS menjadi ajang
balas dendam para senior terhadap juniornya, karna sang senior dahulunya
mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari para seniornya dan pada
kesempatn ini dia melampiaskan kepada juniornya.
Perlakuan
yang tidak sewajarnya yang dilakukan senior terhadap junior seharusnya tidaklah
terjadi karna tidak ada manfaatnya bagi si junior meskipun berdalih pengenalan
sekolah, penguatan mental dan lain sebagainya namun kenyataanya hanyalah ajang
balas dendam belaka yang menimbulkan rasa benci dan dendam yang mendalam dari
junor terhadap senior. MOS dengan menggunakan kekerasan, pemploncoan, bully,
atribut yang nyeleneh itu sudah tidak relevan lagi dan harus di ganti dengan
MOS yang bersifat mendidik, edukatif, kreatif dan menyenangakan karna pada
dasarnya siswa yang baru masuk tersebut masih butuh adaptasi dengan lingkungan
sekolah yang baru dan juga mereka masih pada masa transisi dari jenjang yang
ada di bawahnya menuju ke jenjang yang lebih tinggi, seharusnya mereka
mendapatkan bimbingan, pelajaran dan
akhlak terpuji dari para seniornya bukan malah contoh yang buruk dari para seniornya.
Sebagaimana
kita ketahui bersama bahwa perpeloncoan, kekerasan dan sebagainya di dalam MOS
itu dilarang oleh Menteri pendidikan dan kebudayaan anies Baswedan, dia
menghimbau kepada para orang tua untuk melaporkan sekolah-sekolah yang masih
menggelar perpeloncoan (Tribunnews.com 27/7/2015), hal ini senada dengan
peraturan menteri (permen) nomor 55 Tahun 2014 yang melarang MOS dengan
menggunakan kekerasan dan juga sanksinya bagi sekolah yang membiarkan adanya
perpeloncoan.
Pada
tahun ajaran ini ( 2015-2016) dunia pendidikan kembali dikagetkan dengan
meninggalnya peserta MOS di beberapa daerah di Indonesia diantaranya yaitu Evan
Christoper Situmorang ( SMP Flora Bekasi), Fazri Fauzi ( SMK Al Hikmah Garut),
selain dua nama tadi kemendikbud juga mencatat ada siswa yang meninggal diduga
akibat kelelahan setelah mengikuti MOS di SMP Negeri 11 Tanjung Uban, Bintan,
Kepulauan Riau. (Detik.com, 7/8/2015)
Masa
Orientasi Siswa (MOS) yang berujung maut sungguh amat disayangkan karna salah
satu putra bangsa yang hendak menuntut ilmu itu gagal karena kekerasan yang
dilakukan oleh seniornya, untuk itu bagi orang tua murid apabila mendapati MOS
yang menyeleweng bisa melaporkan ke kemendikbud melalui situs mopd.kemendikbud.go.id.
dengan harapan MOS yang mengandung kekerasan dan perploncoan tidak terjadi lagi
dan diganti dengan MOS yang lebih mendidik, edukatif dan terhormat. Wallahu
A’lam Bissawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar